FILSAFAT ILMU
FILOSUF BARUCH DE SPINOZA
DOSEN : DRS. PUTRA ALAM
DI SUSUN OLEH :
MUHAMMAD NASIR 1041020037 (PMI)
FAKULTAS DAKWAH
IAIN RADEN INTAN LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2011
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis telah panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
sang Pencipta alam semesta, manusia, dan kehidupan beserta seperangkat
aturan-Nya, karena berkat limpahan rahmat, taufiq, hidayah serta inayah-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan tema “PEMIKIRAN
BARUCH DE SPPINOZA” yang sederhana ini dapat
terselesaikan tidak kurang daripada waktunya.
Maksud dan tujuan dari penulisan makalah ini tidaklah lain untuk memenuhi
salah satu dari sekian kewajiban mata kuliah Filsafat Ilmu serta merupakan
bentuk langsung tanggung jawab penulis pada tugas yang diberikan.
Pada kesempatan ini, penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih
kepada Bpk.Drs. Putra Alam selaku dosen mata kuliah Filsafat
Ilmu serta semua pihak yang telah membantu penyelesaian makalah ini baik secara
langsung maupun tidak langsung.
Demikian pengantar yang dapat penulis sampaikan dimana penulis pun sadar
bawasannya penulis hanyalah seorang manusia yang tidak luput dari kesalahan dan
kekurangan, sedangkan kesempurnaan hanya milik Allah Azza Wa’jala hingga dalam
penulisan dan penyusununnya masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang konstruktif akan senantiasa penulis nanti dalam upaya
evaluasi diri.
Akhirnya penulis hanya bisa berharap, bahwa dibalik ketidak sempurnaan
penulisan dan penyusunan makalah ini adalah ditemukan sesuatu yang dapat
memberikan manfaat atau bahkan hikmah bagi penulis, pembaca, dan bagi seluruh
mahasiswa-mahasiswi IAIN Fakultas
Dakwah. Amien ya Rabbal ‘alamin.
Wassalalam,
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL ……………………………………………………………… i
KATA
PENGANTAR ……………………………………………………………. ii
DAFTAR
ISI ……………………………………………………………………… iii
BAB
I PENDAHULUAN ………………………………………………………… 1
1. Latar belakang …………………………………………………………… 1
BAB
II PEMBAHASAN …………………………………………………………. 3
A. Tentang Tuhan ………………………………………………………….. 4
B. Tentang Humanisme …………………………………………………….. 5
C. Tentang Kebenaran ………………………………………………………. 6
BAB
III PENUTUP ……………………………………………………………….. 8
1. Kesimpulan ………………………………………………………………. 8
PUSTAKA
…………………………………………………………………………. 11
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Baruch de Spinoza (24 November 1632
– 21 Februari 1677)
(Bahasa Ibrani) adalah filsuf keturunan Yahudi-Portugis
berbahasa Spanyol yang lahir dan besar di Belanda Pikiran Spinoza berakar dalam
tradisi Yudaisme Pemikiran Spinoza yang terkenal adalah ajaran mengenai
Substansi tunggal Allah atau alam Hal ini ia katakan karena baginya Tuhan dan
alam semesta adalah satu dan Tuhan juga mempunyai bentuk yaitu seluruh alam
jasmaniah. Oleh karena pemikirannya ini, Spinoza pun disebut sebagai penganut, panteisme-monistik.
Baruch de Spinoza lahir di kota
Amsterdam pada
tanggal 24 November 1632 Ayahnya merupakan seorang pedagang yang kaya. Di masa
kecilnya, Spinoza telah menunjukkan kecerdasannya sehingga banyak orang yang
mengatakan bahwa ia bisa menjadi seorang rabbi, Dalam kehidupannya, ia tidak
hanya belajar matematika dan ilmu-ilmu alam, ia juga mempelajari bahasa Latin, Yunani,
Belanda, Spanyol, Perancis, Yahudi, Jerman, dan Italia Pada usianya yang ke 18
tahun, Spinoza membuat marah komunitas Yahudi karena ia meragukan Kitab Suci
sebagai Wahyu Allah, mengkritik posisi imam Yahudi, mempertanyakan kedudukan
bangsa Yahudi sebagai umat pilihan Yahweh, dan keterlibatan Allah secara
personal dalam sejarah manusia.
Sikap yang ditunjukkan Spinoza kepada orang Yahudi, membuat
para tokoh agama Yahudi mengambil sebuah sikap. Para
tokoh agama Yahudi pada saat itu menjadi gelisah dengan semua ajaran-ajaran
Spinoza. Para tokoh agama ini terus menerus
memaksa agar Spinoza kembali lagi pada ortodoksi agama, namun hal ini tidak
pernah berhasil. Akhirnya pada tahun 1656, Spinoza dikucilkan dari Sinagoga
Tidak hanya kelompok Yahudi yang mengucilkan Spinoza, keluarganya pun turut
mengucilkan dirinya. Meskipun demikian, Spinoza tetap tenang mengatasi masalah
hidupnya, Hingga Akhirnya ia mengganti nama dirinya dengan Benedictus de
Spinoza, sebagai tanda kehidupan barunya.
Dalam keadaan yang telah dikucilkan, Spinoza mencari nafkah
dengan cara mengasah lensa sambil terus menerus menuliskan
pemikiran-pemikirannya.Tidak lama setelah pengucilan ini, Spinoza mengidap
penyakit TBC.
Pada tahun 1673, dia diundang untuk mengajar di universitas Heidelberg namun ia
menolaknya. Alasan Spinoza menolak undangan ini dikarenakan baginya tidak ada
yang lebih mengerikan daripada kenyataan bahwa orang-orang dihukum mati karena
berpikir bebas. Semasa hidupnya, Spinoza juga bekerja sebagai guru pribadi pada
beberapa keluarga kaya dan dari sinilah Spinoza bertemu dengan tokoh-tokoh
partai politik Belanda saat itu, antara lain Jan de Witt Akhirnya pada tanggal
21 Februari 1677 Spinoza meninggal pada usia 44 tahun karena penyakit TBC
paru-paru yang telah lama ia derita.
Halaman Pembuka dari
salah satu, karya Spinoza magnum opus, Ethics
- Renati Descartes Principiorum Philosophiae, 1663 (Prinsip Filsafat Descartes)
- Tractatus Theologico-Politicus, 1670 (Traktat Politis-Teologis)
- Tractatus de intellectus emendatione, 1677 (Traktat tentang Perbaikan Pemahaman)
- Ethica more geometrico demonstrata, 1677 (Etika yang dibuktikan secara geometris)
Melalui
bukunya Tractatus theologico-politicus Spinoza mengemukakan
pemikirannya tentang interpretasi bebas Kitab Injil. Sementara dalam buku Tractatus-politicus
beliau menulis tentang demokrasi dan pentingnya kebebasan berpendapat.Buku Ethica
(judul lengkapnya Ethica Ordine Geometrico Demonstrata) yang merupakan
karya utamanya, ditulis dengan maksud untuk membantu mengurangi penderitaan
orang-orang yang menganut suatu keyakinan. Karya ini bukan semata-mata karya
filosofi melainkan memiliki tujuan praktis : untuk mengajari pembacanya bahwa
Tuhan merupakan bagian dari Penciptaan, bahwa semua hal yang eksis merupakan
manifestasi dari Tuhan – termasuk umat manusia. Agar seseorang mampu memahami
hal ini sangat penting untuk bersikap mandiri dan bebas dari seluruh fanatisme
yang membelenggu. Spinoza membuktikan keyakinan tersebut dalam kehidupannya :
argumen-argumennya selalu disampaikan dengan tenang, dipertimbangkan dengan
matang dan masuk akal. Beliau bahkan tidak membiarkan dirinya terprovokasi.
BAB II
PEMBAHASAN
Pemikiran Baruch De Spinoza
Pandangan Spinoza
mengenai substansi tunggal merupakan tanggapannya atas pemikiran Descartes
tentang masalah substansi dan hubungan antara jiwa dan tubuh. Dalam filsafat
Descartes, terdapat sebuah permasalahan yaitu bagaimana Allah, jiwa, dan dunia
material dapat dipikirkan sebagai satu kesatuan utuh? Dalam bukunya Ethica,
ordine geometrico demonstrata (Etika yang dibuktikan dengan cara
geometris), Spinoza mencoba menjawab permasalahan ini. Ia memulai menjawab
permasalahan dari filsafat Descartes dengan memberikan sebuah pengertian
mengenai substansi.[1]
Substansi dipahami sebagai sesuatu yang ada dalam dirinya
sendiri dan dipikirkan oleh dirinya sendiri, artinya sesuatu yang konsepnya
tidak membutuhkan konsep lain untuk membentuknya. Menurut Spinoza, sifat
substansi adalah abadi, tidak terbatas, mutlak, dan tunggal-utuh. Bagi Spinoza,
hanya ada satu yang dapat memenuhi definisi ini yaitu Allah. Menurut Spinoza,
sifat substansi adalah abadi, tidak terbatas, mutlak, dan tunggal-utuh. Bagi
Spinoza, hanya ada satu yang dapat memenuhi definisi ini yaitu Allah Hanya
Allah yang memiliki sifat yang tak terbatas, abadi, mutlak, tunggal, dan utuh.
Selain itu, Spinoza juga mengajarkan apabila Allah adalah
satu-satunya substansi, maka segala yang ada harus dikatakan berasal dari pada
Allah. Hal ini berarti semua gejala pluralitas dalam alam baik yang bersifat
jasmaniah (manusia, flora dan fauna, bahkan bintang) maupun yang bersifat
rohaniah (perasaan, pemikiran, atau kehendak) bukanlah hal yang berdiri sendiri
melainkan tergantung sepenuhnya dan mutlak pada Allah. Untuk menyebut gejala
ini, Spinoza menggunakan sebuah istilah yaitu modi, Modi
merupakan bentuk atau cara tertentu dari keluasan dan pemikiran.
Dengan demikian, semua gejala dan realitas yang kita lihat
dalam alam hanyalah modi saja dari Allah sebagai substansi tunggal.
Dengan kata lain, alam dan segala isinya adalah identik dengan Allah secara
prinsipil
Kata kunci ajaran Spinoza adalah Deus sive natur
(Allah atau alam). Yang berbeda dari ajaran ini hanyalah istilah dan sudut
pandangnya saja. Sebagai Allah, alam adalah natura naturans (alam yang
melahirkan). natura naturans dipandang sebagai asal-usul, sebagai sumber
pemancaran, sebagai daya pencipta yang asali. Sebagai dirinya sendiri, alam
adalah natura naturata (alam yang dilahirkan) yaitu sebuah nama untuk
alam dan Allah yang sama tetapi dipandang menurut perkembangannya yaitu alam
yang kelihatan. Dengan ini Spinoza membantah ajaran [Descartes] bahwa realitas
seluruhnya terdiri dari tiga substansi (Allah, jiwa, materi). Bagi Spinoza
hanya ada satu substansi saja, yakni Allah/alam
A. Tentang Tuhan
Kesatuan antara Allah dan alam semesta untuk pertama
kali diberi rumusan secara moderen. Substansi ini memiliki sebabnya dalam
dirinya sendiri. Hakekat (esentia)-nya mencakup juga keberadaan
(exsistentia)-nya. Hakekatnya di tentukan oleh atribut-attribut atau
sifat-sifat asasinya yang tiada batasnya. Tiap sifat asasi dengan cara yang
sempurna mengungkapkan hakekat esensinya yang kekal dan tak terbatas itu. Akan
tetapi segala hal yang kongkrit, yaitu dunia yang beraneka raga ini, adalah
modi atau cara berada substansi yang satu itu.
Demikian lah pengertian tentang Allah yang di ajarkan
Spinoza tidak sama dengan yang di ajarkan Descartes. Bagi Descartes Allah
adalah suatu pribadi yang menciptakan dunia, akan tetapi bagi Spinoza Allah
adalah suatu kesatuan umum, yang mengungkapkan diri di dalam dunia. Segala yang
ada adalah Allah, tiada sesuatu pun yang tidak tercakup di dalam Allah dan
tiada sesuatupun yang dapat berada tanpa Allah.[2]
Sekalipun hakekat Allah di tentukan oleh siffat-sifat
asasinya yang tiada batasnya, namun manusia yang terbatas Ini hanya dapat
mengenal dua sifat asasi Allah, yaitu: pemikiran dan keluasan. Segala realitas
yang konkrit adalah modi atau cara berada Allah, menampakkan diri dalam bentuk
rangkap, yaitu: dalam corak pikiran yang individual dan dalam corak keluasan
yang individual, yang masing-masing hanya mewujudkan realitas yang tidak
lengkap saja.
Hal-hal bendawi adalah cara berada Allah dibawah sifat
asasi keluasan, atau cara berada Allah di dalam ruang. Dan hal-hal bendawi itu
sesuai dengan idea-ideanya yang berada dibawah sifat asasi pemikiran, atau
dapat juga disebut: cara berada Allah dalam keluasan dan cara beradanya dalam
pemikiran, adalah sama. Keduanya hanya dibedakan dalam pengenalan. Pengertian
subyektif dan obyektif adalah sama, atau
pikiran dan keberadaan adalah sama.
B. Tentang Humanisme
Spinoza membedakan antara manusia dan mahluk-mahluk
lainnya bahwa: tubuh manusia lebih ruwet daripada tubuh mahluk-mahluk lainnya.
Tubuh manusia adalah alat jiwa manusia untuk mengungkapkan diri dalam banyak
idea. Tiada pengaruh timbale balik dalam arti sebenernya di antara tubuh dan
jiwa.[3]
Gejala-gejala yang nampak sama pada keduanya sebenarnya
hanya pengungkapan- pengungkapan yang bermacam-macam dari satu kenyataan.
Jajaran proses-proses tubuhi dan proses jiwani adalah dua aspek dari kejadian
yang sama. Kesadaran “adanya sesuatu” dan “sesuatu yang ada” itu sendiri adalah
dua sisi dari hal yang sama. Proses tubuhi dan ji.wani berjalan sejajar.
Di dalam manusia juga tiada “aku” yang tetap. Jiwa
tidak lain adalah suatu arus kejadian-kejadin jiwani (psikis) suatu rentetan
pengkhususan-pengkhususan pemikiran Allah atau pemikiran tentang isi tertentu
yang di lakukan Allah.
Idea-idea yang jelas dan terpilah-pilah yang terdapat
dalam jiwa manusia adalah idea-idea Allah. Idea-idea itu pasti secara sempurna
dan pada dirinya menjadi jaminan kepastian. Idea-idea itu adalah sama dengan
realitas diluar, karna sifatnya yang jelas dan terpilah-pilah. Jikalau terdapat
hal-hal tidak benardan menyesatkan, hal itu di sebab kan karna idea-idea yang telah didukungkan
yang tidak lagi mengandung pengetahuan yang benar.
Kehendak manusia pada hakekatnya adalah sama dengan
pikirannya. Menghendaki adalah perbuatan akal semata-mata. Dengan kehendaknya
itu manusia berusaha merealisasikan hakekatnya atau esensinya sendiri, yaitu
hakekatnya seperti yang ada pada Allah sebagai idea. Menghendaki adalah
merealisasikan diri, yang dilaksanakan dengan melalui pikiran. Itulah sebabnya
maka kehendak dan pikiran pada hakekatnya adalah satu.[4]
Oleh karna itu juga tiada kebebasan kehendak, Artinya :
manusia tidak memiliki kebebasan untuk memilih salah satu dari dua kemungkinan.
Juga tiada “ aku “ yang tetap. Yang ada adalah suatu rentetan perbuatan
kehendak, yang sama-sama dengan segala kejadian dunia sama sekali telah di
tentukan oleh keharusan batiniah yang mutlak dan oleh hakekat Allah.
Jiwa tidak lain adalah suatu arus kejadian psikis,
suatu rentetan pengkhususan-pengkhususan pemikiran Allah, atau pemikiran
tentang isi tertentu yang di lakukan Allah. Kehendak terikat kepada imaginasi.
Kita hanya mengira, bahwa kita bebas dalam kehendak kita. Di dalam imaginasi
itu kita di pimpin oleh kesan-kesan, gambaran-gambaran ingatan dan
pengertian-pengertian abstrak. Kebebasan manusia terletak disini, bahwa ia,
berbeda dengan mahluk- mahluk lainnya, sadar bahwa ia mendapat bagian dari
keharusan mutlak Allah.
C. Tentang Kebenaran
Pendidikan pada umumnya dan ilmu pengetahuan pada khususnya mengemban
tugas utama untuk menemukan, pengembangan, menjelaskan, menyampaikan nilai-nilai
kebenaran. Semua orang yang berhasrat untuk mencintai kebenaran, bertindak
sesuai dengan kebenaran. Kebenaran adalah satu nilai utama di dalam kehidupan
human. Sebagai nilai-nilai yang menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat
manusiawi atau martabat kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha “memeluk”
suatu kebenaran.[5]
Kebenaran sebagai ruang lingkup dan obyek pikir manusia sudah lama
menjadi penyelidikan manusia. Manusia sepanjang sejarah kebudayaannya
menyelidiki secara terus menerus apakah hakekat kebenaran itu?
Jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong
pula untuk melaksanakan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman
tentang kebenaran, tanpa melaksanakan kebenaran tersebut manusia akan mengalami
pertentangan batin, konflik spikologis. Menurut Spinoza bertingkat-tingkat
bahkan tingkat-tingkat tersebut bersifat hirarkhis. Kebenaran yang satu di
bawah kebenaran yang lain tingkatan kualitasnya, ada kebenaran relatif, ada
kebenaran mutlak (absolut). Ada
kebenaran alami dan ada pula kebenaran illahi, ada kebenaran khusus individual,
ada pula kebenaran umum universal.
Pengaruh
Pikiran Pada Era Berikutnya
Tidak
dapat disangkal, bahwa dalam perjalanan di sepanjang abab filsafat barat telah
melahirkan pemikiran-pemikiran yang bermacam-macam sekali,yang menadakan
penelitian filsafati yang mengarah ke banyak jurusan.[6]
Seperti
Bruch Spinoza yang pemikirannya renaissance mencapai penyempurnaan pada
dirinya, yang kemudian tercapailah kedewasaan pemikiran yang dipandang sebagai
sumber pengetahuan hanya apa yang secara alamiah dapat dipakai manusia yaitu
akal dan pengalaman. Dalam arti ajaran Spinoza dapat di pandang sebagai suatu
mistik filsafati, yang mengajarkan tentang nisbah antara manusia dan Allah
sebagai tokoh yang tiada batasnya.
Namun
harus di akui, bahwa bagaimanapun filsafat barat telah membantu terbentuknya
kebudayaan barat. Filsafat memperlihatkan kepada kita apa yang hidup dalam diri
manusia yang telah menjadi dasar. Filsafat menjelaskan kepada kita apa yang di
cari orang pada zaman tertentu, apa yang hidup dan bergerak di dalam bagian
yang terdalam hidup manusia pada suatu zaman. Ternyata bahwa setiap zaman
memiliki filsafat nya sendiri, yang berusaha menurut keyakinan masing-masing
untuk memperbaiki hidup manusia.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Salah satu gagasan yang diajukan oleh Spinoza dalam memahami realitas
Yang absolut adalah Substansi Tak Terhingga atau Allah.
Gagasan-gagasan Spinoza dalam mengungkap realitas yang Absolut ini, ia banyak
dipengaruhi oleh rasionalisme Descartes. Namun, pengaruh Descartes yang telah
membentuk pola pemikirannya, tidak semuanya diamini dengan baik oleh Spinoza
terutama dalam memahami Substansi sebagai realitas murni yang Absolut. Dalam
memahami Substansi, Descartes melihat bahwa Substansi itu merupakan suatu
realitas yang tidak membutuhkan sesuatu yang lain.
Dengan kata lain, Descartes melihat Allah sebagai Substansi yang tidak
membutuhkan yang lain untuk berada. Tetapi, disamping Substansi sebagai
realitas Absolut, Descartes menerima substansi yang lain kendatipun substansi
yang dimaksud tidak berlaku secara Absolut melainkan relatif.
Berkaitan dengan Substansi yang diajukan oleh Descartes, Spinoza melihat
bahwa Descartes tidak memiliki sebuah komitment yang akurat untuk
mendefinisikan Substansi itu sendiri, karena dalam kenyataannya Descartes masih
menerima adanya Substansi yang lain. Di sinilah Spinoza tidak setuju dengan
gagasan yang disodorkan oleh Descartes. Tetapi, di sisi lain, Spinoza menerima
gagasan yang disodorkan oleh Descartes yang mengatakan bahwa Substansi itu
adalah sesuatu yang tidak membutuhkan yang lain, artinya bahwa Substansi itu
adalah suatu realitas yang mandiri, otonom, utuh, satu dan tunggal.
Tetapi, selain Allah sebagai Substansi. Spinoza juga melihat Alam sebagai
substansi. Dengan kata lain, dalam pandangan Spinoza Allah atau Alam adalah
merupakan suatu kenyataan tunggal yang memiliki satu kesatuan. Pemahaman ini
berangkat dari suatu pemahaman terhadap pembedaan antara Substansi yang oleh Spinoza
disebut sebagai atribut-atribut dan modi. Modi adalah cara
berada dari atribut-atribut dan secara tidak langsung adalah dari
Substansi. Memang benar bahwa Spinoza mengakui hanya ada satu Substansi, tetapi
di dalam substansi itu terkandung atribut-atribut (sifat hakiki) yang
tak terhingga jumlahnya.
Namun, dari sekian banyak sifat hakiki itu hanya ada dua yang dapat
diketahui oleh manusia, yaitu keluasan dan pemikiran (extensio dan
cogitatio).
Dalam hal ini, Spinoza
melihat Allah sebagai keluasan (Deus est res extensa) dan pemikiran (Deus
est res cogitans). Keluasan dan pemikiran merupakan
dua hal yang memiliki substansi yang sama. Spinoza menggagas ini dalam
ajarannya tentang Substansi tunggal yaitu Allah atau Alam (Deus Sive
Natua). Menurut Spinoza, realitas Yang Absolut itu memiliki sifat yang
abadi, tak terbatas, dan tunggal. Maka, dari pemahaman seperti ini Spinoza
melihat bahwa karena Allah adalah satu-satunya Substansi, maka segala sesuatu
yang ada di bumi atau alam ini adalah berasal dari Allah. Di sinilah Spinoza
terus menerus tenggelam dalam suatu refleksi tentang hubungan antara Allah dan
manusia sebagai satu kesatuan. Maka, untuk sampai kepada Allah, Spinoza
mengatakan bahwa perlu ada cinta. Cinta merupakan suatu bentuk pengenalan
tertinggi terhadap Tuhan. Melalui cinta, ia melihat bahwa kita dapat menerima
segala sesuatu yang ada di alam, dan dengan demikian manusia menyerahkan diri
seutuhnya kepada Tuhan sebagai realitas Yang absolut. Berawal dari sinilah
Spinoza disebut sebagai filsuf yang tenggelam dalam Tuhan.
Analisa Penulis
Untuk memahami Substansi yang disodorkan oleh Descartes kepada Spinoza,
penulis berpendapat bahwa Substansi itu
adalah merupakan sesuatu yang ada dalam diri kita sendiri atau sesuatu yang
tidak membutuhkan aspek lain untuk membentuk diri kita menjadi ada. Jadi, kita
itu berdiri sendiri dan membentuk diri kita sendiri. Itulah yang disebut
sebagai causa prima non causata.
Oleh karena itu, dalam
tatanan ada (Primum Ontologicum), Substansi itu disebut sebagai yang pertama
dan yang asali. Sedangkan dalam sistem kelogisan (Primum Logicum), Substansi
merupakan realitas yang pertama dan yang Absolut. Dari sini dapat kita tarik
suatu kesimpulan bahwa dalam pandangan Spinoza hanya ada satu Substansi dan
Substansi itu adalah itu” Dia yang Tak Terhingga atau Allah.
Konsep metafisika
Spinoza terhadap Substansi sebagai realitas Yang Absolut, mau memperlihatkan
dengan jelas obyek penjelajahan refleksi metafisika terhadap realitas. Ada yang
paling tinggi dan sempurna, yaitu refleksi tentang Allah sebagai realitas yang
Absolut, murni, tunggal dan sempurna.
Menurut Spinoza, yang
disebut substansi adalah apa yang dapat dipahami, tanpa perlu memahami sesuatu
yang lain.Hanya satu yang memenuhi definisi ini,jadi yang dapat dipikirkan
tanpa perlu memikirkan apapapun lagi,yaitu ALLAH. Karena itu, kita harus
bertolak dari Allah. Kita juga sudah mendapatkan dalil fundamental metafisika
Spinoza:HANYA ADA SATU SUBSTANSI SAJA, YAITU ALLAH. Menurut Spinoza,Allah
adalah segala-galanya,tak terpisah,sedemikian rupa hingga antara Allah dan
alam,tidak mungkin diadakan pemisahan sedikit pun. Maka, Spinoza pun
memutlakkan imanensi dan menyangkal transendensi.Atas pandangannya itu,maka
Spinoza menolak dirinya dicap sebagai Ateis.Ia merasa lebih tepat disebut
penganut PANTEISME,yang,MONISTIK.
DAFTAR PUSTAKA
Ariew,
R. Watkins, E. Modern filsafat.
Spinoza, B, Etika (1677) (Hackett Publishing Company inc. 1998)
Bakker, Anton, Ontologi
Metafisika Umum, Yogyakarta:
Kanisius, 1992.
Bertens, K. Filsuf-filsuf
Besar tentang Manusia, Jakarta:
Gramedia, 1988.
——Filsafat
Barat Abad XX, Jilid II, Jakarta:
Gramedia, 1985.
Budi Hardiman,
F. Filsafat Modern dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta: Gramedia, 2004.
Hamersma, Harry,
Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern, Jakarta: Gramedia, 1984.
Petrus L.
Tjahjadi, Simon, Petualangan Intelektual, Yogyakarta:
Kanisius, 2004.
Riyanto, Armada,
Metafisika (Diktat Kuliah), Malang:
STFT Widya Sasana Malang,
2004.
——-Pengantar Filsafat
(Diktat Kuliah), Malang: STFT Widya
Sasana Malang,
2002
.
Dr. Harun
Hadiwijono, Sari Sejarah filsafat Barat
2, Yogyakarta: Kanisius, 1980
Syam, Muhammad Noor. 1988. Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional
Bertens, K. 1976. Ringkasan Sejarah Filsafat. Jakarta: Yayasan Krisius
Sumantri Surya. 1994. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
[1].Dr. Hary
Hamersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Moderen. 1984, hlm 9
[2]
Poejowijatno,i.r, pembimbing kea rah ilmu filsafat. 1963
[3] Harun
Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2. 1980 hlm,28
[4] Ibid,
hal. 29
[5].K.Bertens,
Filsuf-Filsuf Besar Tentang Manusia,1988,hlm 74
[6].Dr.
Harun Hadiwijono,Op cit,hlm 30
Tidak ada komentar:
Posting Komentar