MAKALAH
TAFSIR AYAT DAKWAH
DI AJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS
TAFSIR AYAT DAKWAH
DI SUSUN OLEH:
SAMANAN :
10410200..
DOSEN PEMBIMBING:
Drs. KHAIRON KHAS, M.Hi
PROGRAM STUDI TAFSIR AYAT DAKWAH
FAKULTAS DAKWAH
IAIN RADEN INTAN LAMPUNG
2011/2012
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Puji dan syukur penulis haturkan atas kehadirat Allah SWT, atas segala
limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
ini. Sholawat teriring salam semoga selalu senantiasa Allah curahkan kepada
Rosulullah Muhammad SAW, para sahabat dan keluarganya.
makalah dengan judul ini” adalah salah satu syarat dari proses
pembelajaran mata kuliah TAFSIR AYAT DAKWAH di Fakultas Dakwah Institut Agama
Islam Negeri Raden Intan Lampung.
Dalam kesempatan
ini penulis mungucapkan terimakasih kepada :
1.
Bapak. Drs,Khairon Khas M.Hi selaku dosen mata kuliah
Tafsir Ayat Dakwah Di Fakultas Dakwah IAIN Raden Intan Lampung.
2.
Sahabat-sahabat terbaik dan seperjuangan Jurusan
Pengembangan Masyarakat Islam Angkatan 2010/2011 yang telah memberikan motivasi
dalam menempuh kegiatan belajar sehingga bisa terselesaikannya Tugas
ini.
Wassalamu’alaikum wr. Wb
Bandar Lampung, 25 NOP 2011
Penulis
SAMANAN
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL....................................................................................... i
KATA
PENGANTAR....................................................................................
ii
DAFTAR
ISI.................................................................................................. iii
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang...................................................................................... 1
BAB II
PENAFSIARAN SURAT
AN-NHL 128
- Ma’anil Mufrodat.................................................................................. 2
- Penafsiran Surat An-Nhl........................................................................ 2
- Ayat Al-Qur’an Yang Berkaitan............................................................ 3
BAB III
PEMBAHASAN
- Islam Mencakup Tiga Tingkatan............................................................ 6
- Mengkompromikan Ketiga Istilah.......................................................... 8
- Pengertian Ihsan.................................................................................... 8
- Masalah Ihsan....................................................................................... 9
- Analisa penulis....................................................................................... 9
BAB IV PENUTUP
A.. Kesimpulan.......................................................................................... 13
B... Saran................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
para ulama’ muhaqqiq/peneliti menyatakan bahwa setiap mu’min pasti muslim, karena orang yang telah merealisasikan iman sehingga iman itu tertanam kuat di dalam hatinya pasti akan melaksanakan amal-amal islam/amalan lahir. Dan belum tentu setiap muslim itu pasti mu’min, karena bisa jadi imannya sangat lemah sehingga hatinya tidak meyakini keimanannya dengan sempurna walaupun dia melakukan amalan-amalan lahir dengan anggota badannya, sehingga statusnya hanya muslim saja dan tidak tergolong mu’min dengan iman yang sempurna. Sebagaimana Alloh Ta’ala telah berfirman, “Orang-orang Arab Badui itu mengatakan ‘Kami telah beriman’. Katakanlah ‘Kalian belumlah beriman tapi hendaklah kalian mengatakan: ‘Kami telah berislam’.” (Al Hujuroot: 14). Dengan demikian jelaslah sudah bahwasanya agama ini memang memiliki tingkatan-tingkatan, dimana satu tingkatan lebih tinggi daripada yang lainnya. Tingkatan pertama yaitu islam, kemudian tingkatan yang lebih tinggi dari itu adalah iman, kemudian yang lebih tinggi dari tingkatan iman adalah ihsan
Makalah
ini membahas tentang Iman, Islam dan Ihsan yang mana iman itu artinya kita
percaya kepada Allah, malaikat-malaikatNya, dan bertemu denganNya, percaya
kepada utusan-utusannya, dan percaya dengan hari kebangkitan. Islam itu kita
menyembah hanya kepada Allah swt tidak mensekutukanNya. Sedangkan Ihsana itu
kita menyembah Allah seolah-olah kita melihatnya, jika kita tidak melihatNya
maha suci Allah dan Maha Tinggi sesungguhnya Allah melihat kita.
BAB II
PENAFSIRAN SURAT AN-NAHL AYAT 128
¨bÎ) ©!$# yìtB tûïÏ%©!$# (#qs)¨?$# tûïÏ%©!$#¨r Nèd cqãZÅ¡øtC ÇÊËÑÈ
128. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.
A. Ma’anil Mufrodat
¨ ©!$#bÎ) : sesungguhnya Allah
y#qs)¨?$#ûïÏ%©!$ìtB : Beserta Orang-orang yang bertaqwa
cqãZÅ¡øtCNèdûïÏ%©!$#¨r : Dan orang-orang yang berbuat kebaikan
B. Penafsiran Surat An-Nhl Ayat 128
Allah swt berfirman “ innallaha ma’allazinat taqu wallazina hum muhsinun” yakni Allah selalu bersama orang-orang yang bertaqwa dan orang yang berbuat kebaikan, dalam hal ini yang di maksud dengan taqwa disini adalah dengan melaksanakan segala perintahnya dan berusaha menjauhi segala apa yang menjadi larangannya, karna hanya dengan taqwa lah yang kita laksanakan dengan tulus ikhlas, pintu-pintu berkah dan bumi akan di buka oleh Allah buat kita bersama, demikian sesuai dengan janji Allah di dalam firmannya:
öqs9ur ¨br& @÷dr& #tà)ø9$# (#qãZtB#uä (#öqs)¨?$#ur $uZóstGxÿs9 NÍkön=tã ;M»x.tt/ z`ÏiB Ïä!$yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur `Å3»s9ur (#qç/¤x. Mßg»tRõs{r'sù $yJÎ/ (#qçR$2 tbqç7Å¡õ3t ÇÒÏÈ
96. Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, Pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat kami) itu, Maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.
Demikian pula yang
dimaksud dengan berbuat kebaikan disini salah satunya adalah berbuat kebaiakan terhadap
sesama makhluk-Nya diperintahkan berbuat ihsan dan belas kasihan. Dan orang
yang paling berhak mendapatkannya adalah orang tua. Sebab, merekalah yang
paling banyak berjasa. Sementara bersyukur kepada pemberi nikmat adalah wajib.
Allah SWT berfirman:Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua
orang ibu bapakmu (TQS Luqman [31]: 14). Rasulullah SAW juga bersabda: Man lam
yasykur al-nâs lam yasykuril-Lâh (barangsiapa yang tidak bersyukur kepada
manusia, maka dia tidak bersyukur kepada Allah, HR al-Tirmidzi dan Ahmad dari
Abu Sai’d al-Khudri).
Didahulukannya kata al-wâlidayn menunjukkan syiddah
al-ihtimâm (kuatnya perhatian). Sedangkan digunakan ihsân[an] dalam bentuk
nakirah, menunjukkan al-ta’zhîm. Artinya, Tuhanmu memerintahkan agar kalian
berbuat baik kepada kedua orang tuamu dengan kebaikan yang agung lagi sempurna.
C. Ayat Al-Qur’an Yang berkaitan
Firman Allah Ta’ala.
¨bÎ) ©!$# yìtB tûïÏ%©!$# (#qs)¨?$# tûïÏ%©!$#¨r Nèd cqãZÅ¡øtC ÇÊËÑÈ
“Sesungguh
Allah bersama orang-orang yg bertakwa dan orang-orang yg beruntuk ihsan”.
[An-Nahl : 128]
Beribadah
kpd Allah dalam keadaan seakan-akan kamu melihat-Nya. Jika kamu tdk
melihat-Nya, maka sesungguh Dia melihatmu”. [Pengertian Ihsan tersebut ialah
penggalan dari hadits Jibril, yg dituturkan oleh Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu
‘Anhu, sebagaimana akan disebutkan
Dan firman Allah Ta’ala.
ö@©.uqs?ur n?tã
ÍÍyèø9$# ÉOÏm§9$# ÇËÊÐÈ
Ï%©!$# y71tt tûüÏm
ãPqà)s? ÇËÊÑÈ
y7t7=s)s?ur Îû tûïÏÉf»¡¡9$# ÇËÊÒÈ
¼çm¯RÎ) uqèd ßìÏJ¡¡9$# ÞOÎ=yèø9$# ÇËËÉÈ
“Arti : Dan
bertakwallah kpd (Allah) Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayg. Yang melihatmu
ketika kamu berdiri (untuk shalat) dan (melihat) perubahan gerak badanmu di
antara orang-orang yg sujud. Sesunnguh Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui”. [Asy-Syu’araa : 217-220]
Serta firman-Nya.
“Arti : Dalam
keadaan apapun kamu berada, dan (ayat) apapun dari Al-Qur’an yg kamu baca,
serta pekerjaan apa saja yg kamu kerjakan, tdk lain kami ialah menjadi saksi
atasmu diwaktu kamu melakukannya”. [Yunus : 61]
Adapun dalil dari
Sunnah, ialah hadits Jibril yg masyhur, yg diriwayatkan dari ‘Umar bin
Al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu.
“Arti : Ketika kami
sedang duduk di sisi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba muncul ke
arah kami seorang laki-laki, sangat putih pakaiannya, hitam pekat rambutnya,
tdk tampak pada tubuh tanda-tanda sehabis dari bepergian jauh dan tiada
seorangpun di antara kami yg mengenalnya. Lalu orang itu duduk di hadapan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dgn menyandarkan kelutut pada kedua lutut beliau
serta meletakkan kedua telapak tangan di atas kedua paha beliau, dan berkata :
‘Ya Muhammad, beritahulah aku tentang Islam’, maka beliau menjawab :’Yaitu :
bersyahadat bahwa tiada sesembahan yg haq selain Allah serta Muhammad ialah
Rasulullah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, melakukan shiyam pada bulan
Ramadhan dan melaksanakan haji ke Baitullah jika kamu mampu untuk mengadakan
perjalanan ke sana’. Lelaki itu pun berkata : ‘Benarlah engkau’. Kata Umar
:’Kami merasa heran kpdnya, ia berta kpd beliau, tetapi juga membenarkan
beliau. Lalu ia berkata : ‘Beritahulah aku tenatng Iman’. Beliau menjawab
:’Yaitu : Beriman kpd Allah, para Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,
Rasul-rasul-Nya dan hari Akhirat, serta beriman kpd Qadar yg baik dan yg
buruk’. Ia pun berkata : ‘Benarlah engkau’. Kemudian ia berkata : ‘Beritahullah
aku tentang Ihsan’. Beliau menjawab : Yaitu : Beribadah kpd Allah dalam keadaan
seakan-akan kamu melihat-Nya. Jika kamu tdk melihat-Nya, maka sesungguh Dia
melihatmu’. Ia berkata lagi. Beritahulah aku tentang hari Kiamat. Beliau
menjawab : ‘Orang yg dita tentang hal tersebut tdk lebih tahu dari pada orang
yg bertanya’. AKhir ia berkata :’Beritahulah aku sebagian dari tanda-tanda
Kiamat itu’. Beliau menjawab : Yaitu : ‘Apabila ada hamba sahaya wanita melahirkan
tuan dan apabila kamu melihat orang-orang tak beralas kaki, tak berpakaian
sempurna melarat lagi, pengembala domba saling membangga-banggakan diri dalam
membangun bangunan yg tinggi’. Kata Umar : Lalu pergilah orang laki-laki itu,
semantara kami berdiam diri saja dalam waktu yg lama, sehingga Nabi berta : Hai
Umar, tahukah kamu siapakah orang yg berta itu ? Aku menjawab : Allah dan
Rasul-Nya lebih mengetahui. Beliau pun bersabda : ‘Dia ialah Jibril, telah
datang kpd kalian untuk mengajarkan urusan agama kalian”.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Islam Mencakup 3 Tingkatan
Rosululloh
shollallahu ‘alaihi wa sallam suatu hari pernah didatangi malaikat
Jibril dalam wujud seorang lelaki yang tidak dikenali jati dirinya oleh para
sahabat yang ada pada saat itu, dia menanyakan kepada beliau tentang Islam,
Iman dan Ihsan. Setelah beliau menjawab berbagai pertanyaan Jibril dan dia pun
telah meninggalkan mereka, maka pada suatu kesempatan Rosululloh bertanya
kepada sahabat Umar bin Khoththob, “Wahai Umar, tahukah kamu siapakah orang
yang bertanya itu ?” Maka Umar menjawab, “Alloh dan Rosul-Nya lah yang
lebih tahu”. Nabi pun bersabda, “Sesungguhnya dia itu adalah Jibril
yang datang kepada kalian untuk mengajarkan agama kalian.” (HR. Muslim).
Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh mengatakan: Di dalam (penggalan) hadits ini
terdapat dalil bahwasanya Iman, Islam dan Ihsan semuanya diberi nama ad din
/ agama (Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 23). Jadi agama Islam yang kita anut ini mencakup 3
tingkatan; Islam, Iman dan Ihsan.
1. Tingkatan Islam
Di dalam hadits tersebut, ketika
Rosululloh ditanya tentang Islam beliau menjawab, “Islam itu engkau
bersaksi bahwa tidak ada sesembahan (yang haq) selain Allah dan bahwasanya
Muhammad adalah utusan Allah, engkau dirikan sholat, tunaikan zakat, berpuasa
romadhon dan berhaji ke Baitulloh jika engkau mampu untuk menempuh perjalanan
ke sana”. Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan: Diantara faedah yang bisa
dipetik dari hadits ini ialah bahwa Islam itu terdiri dari 5 rukun (Ta’liq
Syarah Arba’in hlm. 14). Jadi Islam yang dimaksud disini adalah
amalan-amalan lahiriyah yang meliputi syahadat, sholat, puasa, zakat dan haji.
2. Tingkatan Iman
Selanjutnya Nabi ditanya mengenai iman.
Beliau bersabda, “Iman itu ialah engkau beriman kepada Allah, para malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, para Rosul-Nya, hari akhir dan engkau beriman terhadap qodho’
dan qodar; yang baik maupun yang buruk”. Jadi
Iman yang dimaksud disini mencakup perkara-perkara batiniyah yang ada
di dalam hati. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin mengatakan: Diantara faedah yang bisa
dipetik dari hadits ini adalah perbedaan antara islam dan iman, ini terjadi
apabila kedua-duanya disebutkan secara bersama-sama, maka ketika itu islam
ditafsirkan dengan amalan-amalan anggota badan sedangkan iman ditafsirkan
dengan amalan-amalan hati, akan tetapi bila sebutkan secara mutlak salah
satunya (islam saja atau iman saja) maka sudah mencakup yang lainnya. Seperti
dalam firman Allah Ta’ala, “Dan Aku telah ridho Islam menjadi agama
kalian.” (Al Ma’idah : 3) maka kata Islam di sini sudah mencakup islam dan
iman… (Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 17).
3. Tingkatan Ihsan
Nabi juga ditanya oleh Jibril tentang
ihsan. Nabi bersabda, “Yaitu engkau beribadah kepada Allah seolah-olah
engkau melihat-Nya, maka apabila kamu tidak bisa (beribadah seolah-olah)
melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu”. Syaikh Ibnu Utsaimin
menjelaskan: Diantara faedah yang bisa dipetik dari hadits ini adalah
penjelasan tentang ihsan yaitu seorang manusia menyembah Robbnya dengan ibadah
yang dipenuhi rasa harap dan keinginan, seolah-olah dia melihat-Nya sehingga
diapun sangat ingin sampai kepada-Nya, dan ini adalah derajat ihsan yang paling
sempurna. Tapi bila dia tidak bisa mencapai kondisi semacam ini maka hendaknya
dia berada di derajat kedua yaitu: menyembah kepada Allah dengan ibadah yang
dipenuhi rasa takut dan cemas dari tertimpa siksa-Nya, oleh karena itulah Nabi
bersabda, “Jika kamu tidak bisa melihat-Nya maka sesungguhnya Dia
melihatmu” artinya jika kamu tidak mampu menyembah-Nya seolah-olah kamu
melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (Ta’liq Syarah Arba’in
hlm. 21). Jadi tingkatan ihsan ini mencakup perkara lahir maupun batin.
B. Mengkompromikan ketiga istilah ini
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah mengatakan yang maknanya, Bila dibandingkan dengan iman
maka Ihsan itu lebih luas cakupannya bila ditinjau dari substansinya dan lebih
khusus daripada iman bila ditinjau dari orang yang sampai pada derajat ihsan.
Sedangkan iman itu lebih luas dari pada islam bila ditinjau dari substansinya
dan lebih khusus dari pada islam bila ditinjau dari orang yang mencapai derajat
iman.
Maka
di dalam sikap ihsan sudah terkumpul di dalamnya iman dan islam. Sehingga orang
yang bersikap ihsan itu lebih istimewa dibandingkan orang-orang mu’min yang
lain, dan orang yang mu’min itu juga lebih istimewa dibandingkan orang-orang
muslim yang lain… (At Tauhid li shoffil awwal al ‘aali, Syaikh Sholih
Fauzan, hlm. 63)
C. Pengertian Ihsan
Hasana yuhsinu, yang artinya adalah berbuat baik, sedangkan bentuk masdarnya adalah ihsanan, yang artinya
kebaikan. Allah swt. berfirman dalam Al-Q ur`an mengenai halni.“Jika kamu berbuat baik, (berarti
kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri”(Al-Isra: 7)
“Dan berbuat baiklah (kepada orang lain) seperti
halnya Allah berbuat baik terhadap mu”(QS. Al-Qashash:7 7 )
Ibnu Katsir mengomentari ayat di atas dengan mengatakan bahwa kebaikan yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah kebaikan kepada seluruh makhluk Allah swt.
D. Masalah
Ihsan
Pada dasarnya, ajaran Islam itu terbagi menjadi tiga ajaran pokok, yaitu: akidah, syariah, dan akhlak-tasawwuf. Akidah adalah ajaran Islam mengenai keimanan (kepercayaan/keyakinan). Syariah adalah ajaran Islam mengenai hukum-hukum praktis.Biasa juga disebut fiqh. Yaitu menyangkut masalah-masalah ibadah (salat, zakat, puasa, haji),
muamalah (transaksi jual beli,
perdagangan, hutang-piutang, usaha bersama), munakahat (hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah keluarga/akhwalul syaksiyah, seperti
pernikahan,
perceraian, rujuk, waris),jinayah (masalah-masalah pidana, hukuman bagi orang-orang yang melakukan kejahatan yang melanggar hukum-hukum Allah)
Akhlak-tasawwuf,
yaitu lebih
menekankan kepada kebersihan hati. Seseorang yang sudah yakin adanya Allah,
kemudian dia beribadah,
maka ibadah itu harus ikhlas. Ikhlas inilah
salah satunya yang dibahas pada ilmu
tasawwuf. Dalam menghadapi realitas
kehidupan dunia, kita senantiasa tergiur oleh materi. Agar kita tidak terlena dari kehidupan
akhirat, maka pada akhlak-tasawwuf
juga diajarkan
mengenai zuhud (asketis), kita juga diajarkan sikap qanaah (menerima anugerah Allah dengan senang
hati).
E. Analisa
Penulis
Berdasarkan
uraian di atas maka penulis dapat mengemukakan bahwa : Ihsan adalah Beribadah
kpd Allah dalam keadaan seakan-akan kamu melihat-Nya. Jika kamu tidak
melihat-Nya, maka sesungguh Dia melihatmu”. [Pengertian Ihsan tersebut ialah
penggalan dari hadits Jibril, yg dituturkan oleh Umar bin Al-Khaththab
Radhiyallahu ‘Anhu,
Jadi Ihsan adalah ikhlas beramal karena Allah
semata. Orang yang riya’ dalam beramal, berarti ia menganiaya dirinya sendiri
karena amalnya itu bukan mendapatkan pahala malah akan mendapatkan dosa.
Seseorang harus berkeyakinan bahwa Allah selalu melihat dan mengawasinya,
sehingga hal itu akan mempengaruhi peribadatannya kepada Allah swt.
Dalam
hal ini penulis mencoba memberikan contoh tentang berbuat ihsan:
Allah
SWT berfirman: wa bi al-wâlidayni ihsân[an] (dan hendaklah kamu berbuat baik
pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya). Jika terhadap Allah SWT diperintahkan
beribadah, maka terhadap sesama makhluk-Nya diperintahkan berbuat ihsan dan
belas kasihan. Dan orang yang paling berhak mendapatkannya adalah orang tua.
Sebab, merekalah yang paling banyak berjasa. Sementara bersyukur kepada pemberi
nikmat adalah wajib. Allah SWT berfirman: Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua
orang ibu bapakmu (TQS Luqman [31]: 14). Rasulullah SAW juga bersabda: Man lam
yasykur al-nâs lam yasykuril-Lâh (barangsiapa yang tidak bersyukur kepada
manusia, maka dia tidak bersyukur kepada Allah, HR al-Tirmidzi dan Ahmad dari
Abu Sai’d al-Khudri).
Didahulukannya kata al-wâlidayn menunjukkan syiddah
al-ihtimâm (kuatnya perhatian). Sedangkan digunakan ihsân[an] dalam bentuk
nakirah, menunjukkan al-ta’zhîm. Artinya, Tuhanmu memerintahkan agar kalian
berbuat baik kepada kedua orang tuamu dengan kebaikan yang agung lagi sempurna.
Kemudian Allah SWT berfirman: Immâ yablughanna ‘indaka
al-kibara ahaduhumâ aw kilâhumâ (jika salah seorang di antara keduanya atau
kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu). Dijelaskan
Abdurrahman al-Sa’di, frasa ini bermakna, “Jika keduanya telah sampai pada usia
yang telah lemah kekuatannya dan membutuhkan kasih sayang dan ihsân.” Menurut
al-Syaukani, disebutkannya secara khusus ketika al-kibar (usia lanjut) karena
pada saat itu perbuatan baik dari anak lebih dibutuhkan daripada yang lain.
Tatkala dalam keadaan demikian, seorang anak diserukan: falâ
taqul lahumâ uff (maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya
perkataan "uffin). Menurut Abu Hayyan al-Andalusi, kata al-uff merupakan
ism fi’l yang bermakna atadhajjaru (saya bosan, saya jemu). Tidak jauh berbeda,
al-Zuhaili juga menyatakan bahwa kata tersebut menunjukkan keengganan dan
keberatan. Dengan demikian –sebagaimana diterangkan al-Syaukani--, seorang anak
tidak boleh menampakkan keengganan atau keberatannya terhadap orang tua.
Kendati yang disebutkan dalam ayat ini larangan berkata uff[in], namun mafhûm
al-muwâfaqah (makna tersirat yang sejalan) dengannya mencakup semua perkataan
dan tindakan yang dapat menyakiti hati orang tua.
Kesimpulan ini kian dikukuh dalam frasa selanjutnya: walâ
tanhar humâ (dan janganlah kamu membentak mereka). Kata tanhar berasal dari
kata al-nahr yang berarti al-zajr bi al-ghilthah (membentak dengan marah).
Demikian penjelasan al-Zuhaili dalam al-Tafsîr al-Munîr. Tidak jauh berbeda,
Ibnu ‘Athiyah juga menuturkan bahwa al-intihâr berarti menampakkan kemarahan
dalam suara dan ucapan. Seorang anak dilarang untuk berlaku demikian terhadap
orang tuanya.
Sebaliknya, manusia diperintahkan: waqul lahumâ qawl[an]
karîm[an] (dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia). Menurut
al-Qurthubi, qawl[an] karîm[an] berarti qawl[an] lathîfa (perkataan yang
lembut). Fakhruddin menafsirkannya sebagai perkataan yang disertai dengan
al-ta’zhîm wa al-ihtirâm (memulyakan dan penghormatan).
Tidak hanya dalam ucapan, namun bersikap baik itu juga
mewujud dalam perbuatan. Dalam ayat berikutnya ditegaskan: wahfidh lahumâ janâh
al-dzull min al-rahmah (dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan
penuh kesayangan, TQS al-Isra’ [17]: 24).
Menurut al-Razi, ungkapan dalam ayat ini bermakna melebihkan
tawadhu’. Kata min al-rahmah menunjukkan bahwa sikap tawadlu’ itu disebabkan
oleh besarnya kasih sayang dan belas kasihan kepada keduanya karena telah tua
dan lemahnya mereka.
Diperintahkan
pula untuk mendoakan mereka. Allah SWT berfirman: Dan ucapkanlah, "Wahai
Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik
aku waktu kecil" (TQS al-Isra’ [17]: 24). Perintah untuk mendoakan mereka
agar diberikan rahmat dari-Nya itu berlaku baik keduanya masih hidup maupun
sudah meninggal. Khusus bagi orang tua musyrik yang sudah meninggal, dilarang
untuk mendoakannya, sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah SWT: Tiadalah
sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada
Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum
kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu,
adalah penghuni neraka Jahanam (TQS al-Taubah [9]: 113).
Itulah akhlak yang diajarkan oleh Islam kepada manusia dalam
bersikap dengan orang tua mereka. Sebagamana layaknya kewajiban, siapa pun yang
melakukannya akan mendapatkan pahala dan ridha-Nya. Sebaliknya, siapa pun yang
melanggarnya, bahkan berlaku durhaka kepada orang tuanya akan diganjar dengan
siksa yang pedih. Rasulullah SAW pernah ditanya mengenai al-kabâir (dosa
besar). Beliau menjawab “Menyekutukan Allah.” “Lalu apa lagi?” Beliau bersabda,
“‘uqûq al-wâlidayn (durhaka kepada orang tua). Semoga kita tidak termasuk di
dalamnya. Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb
BAB
IV
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Dari penjelasan di atas maka teranglah bagi kita bahwasanya
pembagian agama ini menjadi tingkatan Syari’at, Ma’rifat dan Hakikat tidaklah
dikenal oleh para ulama baik di kalangan sahabat, tabi’in maupun tabi’ut
tabi’in; generasi terbaik ummat ini. Pembagian yang syar’i adalah sebagaimana
disampaikan oleh Nabi yaitu islam, iman dan ihsan dengan penjelasan sebagaimana
di atas. Maka ini menunjukkan pula kepada kita alangkah berbahayanya pemahaman
sufi semacam itu. Lalu bagaimana mungkin mereka bisa mencapai keridhoan Alloh
Ta’ala kalau cara beribadah yang mereka tempuh justeru menyimpang dari petunjuk
Rosululloh ? Alangkah benar Nabi yang telah bersabda, “Barangsiapa yang
mengamalkan suatu amalan yang tidak ada dasarnya dari kami maka amalan itu
tertolak.” (HR. Muslim). Barangsiapa yang ingin mencapai derajat muhsin
maka dia pun harus muslim dan mu’min. Tidak sebagaimana anggapan tarekat
sufiyah yang membolehkan orang yang telah mencapai Ma’rifat untuk meninggalkan
syari’at. Wallohu a’lam.
2. Saran
- Wajib bagi kita berbuat baik kepada orang tua kita, terlebih ketika usia mereka sudah lanjut
- Sikap anak terhadap orang tuanya: (1) tidak berkata yang menyakitkan hati mereka; (2) tidak membentak mereka; (3) harus berkata dengan perkataan yang mulia; (4) bersikap tawadlu; (5) mendoakan mereka
DAFTAR PUSTAKA
Imarah,
Musthafa Muhammad, Terjemah Jawahirul Bukhari, Rajamurah Alqonaah, Semarang, 1979.
Baqi,
Muhammad Fuad ‘Abdul, Al-lu’lu’ wal marjan, terjemahan H.Salim Bahreisy,
pt.bina ilmu, Surabaya,
1996.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar