KUMPULAN MAKALAH

SELAMAT DATANG DI DUNIA ILMU
SEMOGA BERMANFAAT BAGI ANDA

Jumat, 16 Maret 2012

makalah tafsir ayat dakwah II


MAKALAH
TAFSIR AYAT DAKWAH

DI AJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS
TAFSIR AYAT DAKWAH



 







DI SUSUN OLEH:

SAMANAN    : 10410200..

DOSEN PEMBIMBING:
Drs. KHAIRON KHAS, M.Hi


PROGRAM STUDI TAFSIR AYAT DAKWAH
FAKULTAS DAKWAH
IAIN RADEN INTAN LAMPUNG
2011/2012
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb
Puji dan syukur penulis haturkan atas kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Sholawat teriring salam semoga selalu senantiasa Allah curahkan kepada Rosulullah Muhammad SAW, para sahabat dan keluarganya.
makalah dengan judul ini” adalah salah satu syarat dari proses pembelajaran mata kuliah TAFSIR AYAT DAKWAH di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri Raden Intan Lampung.
Dalam kesempatan ini penulis mungucapkan terimakasih kepada :
1.    Bapak. Drs,Khairon Khas M.Hi selaku dosen mata kuliah Tafsir Ayat Dakwah Di Fakultas Dakwah IAIN Raden Intan Lampung.
2.    Sahabat-sahabat terbaik dan seperjuangan Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam Angkatan 2010/2011 yang telah memberikan motivasi dalam menempuh kegiatan belajar sehingga bisa terselesaikannya  Tugas  ini.
Wassalamu’alaikum wr. Wb

Bandar Lampung, 25 NOP 2011
Penulis

SAMANAN
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL....................................................................................... i
KATA PENGANTAR.................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang...................................................................................... 1
BAB II PENAFSIARAN SURAT AN-NHL 128
  1. Ma’anil Mufrodat.................................................................................. 2
  2. Penafsiran Surat An-Nhl........................................................................ 2
  3. Ayat Al-Qur’an Yang Berkaitan............................................................ 3
BAB III PEMBAHASAN
  1. Islam Mencakup Tiga Tingkatan............................................................ 6
  2. Mengkompromikan Ketiga Istilah.......................................................... 8
  3. Pengertian Ihsan.................................................................................... 8
  4. Masalah Ihsan....................................................................................... 9
  5. Analisa penulis....................................................................................... 9
BAB IV PENUTUP
A.. Kesimpulan.......................................................................................... 13
B... Saran................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA

 

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

para ulama’ muhaqqiq/peneliti menyatakan bahwa setiap mu’min pasti muslim, karena orang yang telah merealisasikan iman sehingga iman itu tertanam kuat di dalam hatinya pasti akan melaksanakan amal-amal islam/amalan lahir. Dan belum tentu setiap muslim itu pasti mu’min, karena bisa jadi imannya sangat lemah sehingga hatinya tidak meyakini keimanannya dengan sempurna walaupun dia melakukan amalan-amalan lahir dengan anggota badannya, sehingga statusnya hanya muslim saja dan tidak tergolong mu’min dengan iman yang sempurna. Sebagaimana Alloh Ta’ala telah berfirman, “Orang-orang Arab Badui itu mengatakan ‘Kami telah beriman’. Katakanlah ‘Kalian belumlah beriman tapi hendaklah kalian mengatakan: ‘Kami telah berislam’.” (Al Hujuroot: 14). Dengan demikian jelaslah sudah bahwasanya agama ini memang memiliki tingkatan-tingkatan, dimana satu tingkatan lebih tinggi daripada yang lainnya. Tingkatan pertama yaitu islam, kemudian tingkatan yang lebih tinggi dari itu adalah iman, kemudian yang lebih tinggi dari tingkatan iman adalah ihsan

Makalah ini membahas tentang Iman, Islam dan Ihsan yang mana iman itu artinya kita percaya kepada Allah, malaikat-malaikatNya, dan bertemu denganNya, percaya kepada utusan-utusannya, dan percaya dengan hari kebangkitan. Islam itu kita menyembah hanya kepada Allah swt tidak mensekutukanNya. Sedangkan Ihsana itu kita menyembah Allah seolah-olah kita melihatnya, jika kita tidak melihatNya maha suci Allah dan Maha Tinggi sesungguhnya Allah melihat kita.

 

 

 

 

BAB II

PENAFSIRAN SURAT AN-NAHL AYAT 128

¨bÎ) ©!$# yìtB tûïÏ%©!$# (#qs)¨?$# tûïÏ%©!$#¨r Nèd šcqãZÅ¡øtC ÇÊËÑÈ

128.  Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.

A. Ma’anil Mufrodat

¨ ©!$#bÎ)                          : sesungguhnya Allah

y#qs)¨?$#ûïÏ%©!$ìtB               : Beserta Orang-orang yang bertaqwa

šcqãZÅ¡øtCNèdûïÏ%©!$#¨r : Dan orang-orang yang berbuat kebaikan

B. Penafsiran Surat An-Nhl Ayat 128

            Allah swt berfirman “ innallaha ma’allazinat taqu wallazina hum muhsinun” yakni Allah selalu bersama orang-orang yang bertaqwa dan orang yang berbuat kebaikan, dalam hal ini yang di maksud dengan taqwa disini adalah dengan melaksanakan segala perintahnya dan berusaha menjauhi segala apa yang menjadi larangannya, karna hanya dengan taqwa lah yang kita laksanakan dengan tulus ikhlas, pintu-pintu berkah dan bumi akan di buka oleh Allah buat kita bersama, demikian sesuai dengan janji Allah di dalam firmannya:

öqs9ur ¨br& Ÿ@÷dr& #tà)ø9$# (#qãZtB#uä (#öqs)¨?$#ur $uZóstGxÿs9 NÍköŽn=tã ;M»x.tt/ z`ÏiB Ïä!$yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur `Å3»s9ur (#qç/¤x. Mßg»tRõs{r'sù $yJÎ/ (#qçR$Ÿ2 tbqç7Å¡õ3tƒ ÇÒÏÈ

96.  Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, Pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat kami) itu, Maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.

            Demikian pula yang dimaksud dengan berbuat kebaikan disini salah satunya adalah berbuat kebaiakan terhadap sesama makhluk-Nya diperintahkan berbuat ihsan dan belas kasihan. Dan orang yang paling berhak mendapatkannya adalah orang tua. Sebab, merekalah yang paling banyak berjasa. Sementara bersyukur kepada pemberi nikmat adalah wajib.
Allah SWT berfirman:Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu (TQS Luqman [31]: 14). Rasulullah SAW juga bersabda: Man lam yasykur al-nâs lam yasykuril-Lâh (barangsiapa yang tidak bersyukur kepada manusia, maka dia tidak bersyukur kepada Allah, HR al-Tirmidzi dan Ahmad dari Abu Sai’d al-Khudri).
Didahulukannya kata al-wâlidayn menunjukkan syiddah al-ihtimâm (kuatnya perhatian). Sedangkan digunakan ihsân[an] dalam bentuk nakirah, menunjukkan al-ta’zhîm. Artinya, Tuhanmu memerintahkan agar kalian berbuat baik kepada kedua orang tuamu dengan kebaikan yang agung lagi sempurna.

C. Ayat Al-Qur’an Yang berkaitan
Firman Allah Ta’ala.
¨bÎ) ©!$# yìtB tûïÏ%©!$# (#qs)¨?$# tûïÏ%©!$#¨r Nèd šcqãZÅ¡øtC ÇÊËÑÈ
“Sesungguh Allah bersama orang-orang yg bertakwa dan orang-orang yg beruntuk ihsan”. [An-Nahl : 128]


Beribadah kpd Allah dalam keadaan seakan-akan kamu melihat-Nya. Jika kamu tdk melihat-Nya, maka sesungguh Dia melihatmu”. [Pengertian Ihsan tersebut ialah penggalan dari hadits Jibril, yg dituturkan oleh Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘Anhu, sebagaimana akan disebutkan
Dan firman Allah Ta’ala.
ö@©.uqs?ur n?tã ̓Íyèø9$# ÉOŠÏm§9$# ÇËÊÐÈ Ï%©!$# y71ttƒ tûüÏm ãPqà)s? ÇËÊÑÈ y7t7=s)s?ur Îû tûïÏÉf»¡¡9$# ÇËÊÒÈ ¼çm¯RÎ) uqèd ßìŠÏJ¡¡9$# ÞOŠÎ=yèø9$# ÇËËÉÈ
“Arti : Dan bertakwallah kpd (Allah) Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayg. Yang melihatmu ketika kamu berdiri (untuk shalat) dan (melihat) perubahan gerak badanmu di antara orang-orang yg sujud. Sesunnguh Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. [Asy-Syu’araa : 217-220]
Serta firman-Nya.
“Arti : Dalam keadaan apapun kamu berada, dan (ayat) apapun dari Al-Qur’an yg kamu baca, serta pekerjaan apa saja yg kamu kerjakan, tdk lain kami ialah menjadi saksi atasmu diwaktu kamu melakukannya”. [Yunus : 61]
Adapun dalil dari Sunnah, ialah hadits Jibril yg masyhur, yg diriwayatkan dari ‘Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu.
“Arti : Ketika kami sedang duduk di sisi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba muncul ke arah kami seorang laki-laki, sangat putih pakaiannya, hitam pekat rambutnya, tdk tampak pada tubuh tanda-tanda sehabis dari bepergian jauh dan tiada seorangpun di antara kami yg mengenalnya. Lalu orang itu duduk di hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dgn menyandarkan kelutut pada kedua lutut beliau serta meletakkan kedua telapak tangan di atas kedua paha beliau, dan berkata : ‘Ya Muhammad, beritahulah aku tentang Islam’, maka beliau menjawab :’Yaitu : bersyahadat bahwa tiada sesembahan yg haq selain Allah serta Muhammad ialah Rasulullah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, melakukan shiyam pada bulan Ramadhan dan melaksanakan haji ke Baitullah jika kamu mampu untuk mengadakan perjalanan ke sana’. Lelaki itu pun berkata : ‘Benarlah engkau’. Kata Umar :’Kami merasa heran kpdnya, ia berta kpd beliau, tetapi juga membenarkan beliau. Lalu ia berkata : ‘Beritahulah aku tenatng Iman’. Beliau menjawab :’Yaitu : Beriman kpd Allah, para Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya dan hari Akhirat, serta beriman kpd Qadar yg baik dan yg buruk’. Ia pun berkata : ‘Benarlah engkau’. Kemudian ia berkata : ‘Beritahullah aku tentang Ihsan’. Beliau menjawab : Yaitu : Beribadah kpd Allah dalam keadaan seakan-akan kamu melihat-Nya. Jika kamu tdk melihat-Nya, maka sesungguh Dia melihatmu’. Ia berkata lagi. Beritahulah aku tentang hari Kiamat. Beliau menjawab : ‘Orang yg dita tentang hal tersebut tdk lebih tahu dari pada orang yg bertanya’. AKhir ia berkata :’Beritahulah aku sebagian dari tanda-tanda Kiamat itu’. Beliau menjawab : Yaitu : ‘Apabila ada hamba sahaya wanita melahirkan tuan dan apabila kamu melihat orang-orang tak beralas kaki, tak berpakaian sempurna melarat lagi, pengembala domba saling membangga-banggakan diri dalam membangun bangunan yg tinggi’. Kata Umar : Lalu pergilah orang laki-laki itu, semantara kami berdiam diri saja dalam waktu yg lama, sehingga Nabi berta : Hai Umar, tahukah kamu siapakah orang yg berta itu ? Aku menjawab : Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui. Beliau pun bersabda : ‘Dia ialah Jibril, telah datang kpd kalian untuk mengajarkan urusan agama kalian”.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PEMBAHASAN

A.      Islam Mencakup 3 Tingkatan

Rosululloh shollallahu ‘alaihi wa sallam suatu hari pernah didatangi malaikat Jibril dalam wujud seorang lelaki yang tidak dikenali jati dirinya oleh para sahabat yang ada pada saat itu, dia menanyakan kepada beliau tentang Islam, Iman dan Ihsan. Setelah beliau menjawab berbagai pertanyaan Jibril dan dia pun telah meninggalkan mereka, maka pada suatu kesempatan Rosululloh bertanya kepada sahabat Umar bin Khoththob, “Wahai Umar, tahukah kamu siapakah orang yang bertanya itu ?” Maka Umar menjawab, “Alloh dan Rosul-Nya lah yang lebih tahu”. Nabi pun bersabda, “Sesungguhnya dia itu adalah Jibril yang datang kepada kalian untuk mengajarkan agama kalian.” (HR. Muslim). Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh mengatakan: Di dalam (penggalan) hadits ini terdapat dalil bahwasanya Iman, Islam dan Ihsan semuanya diberi nama ad din / agama (Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 23). Jadi agama Islam yang kita anut ini mencakup 3 tingkatan; Islam, Iman dan Ihsan.
1. Tingkatan Islam
Di dalam hadits tersebut, ketika Rosululloh ditanya tentang Islam beliau menjawab, “Islam itu engkau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan (yang haq) selain Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah, engkau dirikan sholat, tunaikan zakat, berpuasa romadhon dan berhaji ke Baitulloh jika engkau mampu untuk menempuh perjalanan ke sana”. Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan: Diantara faedah yang bisa dipetik dari hadits ini ialah bahwa Islam itu terdiri dari 5 rukun (Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 14). Jadi Islam yang dimaksud disini adalah amalan-amalan lahiriyah yang meliputi syahadat, sholat, puasa, zakat dan haji.



2. Tingkatan Iman
Selanjutnya Nabi ditanya mengenai iman. Beliau bersabda, “Iman itu ialah engkau beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rosul-Nya, hari akhir dan engkau beriman terhadap qodho’ dan qodar; yang baik maupun yang buruk”.     Jadi Iman yang dimaksud disini mencakup perkara-perkara batiniyah yang ada di dalam hati. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin mengatakan: Diantara faedah yang bisa dipetik dari hadits ini adalah perbedaan antara islam dan iman, ini terjadi apabila kedua-duanya disebutkan secara bersama-sama, maka ketika itu islam ditafsirkan dengan amalan-amalan anggota badan sedangkan iman ditafsirkan dengan amalan-amalan hati, akan tetapi bila sebutkan secara mutlak salah satunya (islam saja atau iman saja) maka sudah mencakup yang lainnya. Seperti dalam firman Allah Ta’ala, “Dan Aku telah ridho Islam menjadi agama kalian.” (Al Ma’idah : 3) maka kata Islam di sini sudah mencakup islam dan iman… (Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 17).
3. Tingkatan Ihsan
Nabi juga ditanya oleh Jibril tentang ihsan. Nabi bersabda, “Yaitu engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, maka apabila kamu tidak bisa (beribadah seolah-olah) melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu”. Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan: Diantara faedah yang bisa dipetik dari hadits ini adalah penjelasan tentang ihsan yaitu seorang manusia menyembah Robbnya dengan ibadah yang dipenuhi rasa harap dan keinginan, seolah-olah dia melihat-Nya sehingga diapun sangat ingin sampai kepada-Nya, dan ini adalah derajat ihsan yang paling sempurna. Tapi bila dia tidak bisa mencapai kondisi semacam ini maka hendaknya dia berada di derajat kedua yaitu: menyembah kepada Allah dengan ibadah yang dipenuhi rasa takut dan cemas dari tertimpa siksa-Nya, oleh karena itulah Nabi bersabda, “Jika kamu tidak bisa melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu” artinya jika kamu tidak mampu menyembah-Nya seolah-olah kamu melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 21). Jadi tingkatan ihsan ini mencakup perkara lahir maupun batin.

B.        Mengkompromikan ketiga istilah ini
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan yang maknanya, Bila dibandingkan dengan iman maka Ihsan itu lebih luas cakupannya bila ditinjau dari substansinya dan lebih khusus daripada iman bila ditinjau dari orang yang sampai pada derajat ihsan. Sedangkan iman itu lebih luas dari pada islam bila ditinjau dari substansinya dan lebih khusus dari pada islam bila ditinjau dari orang yang mencapai derajat iman.
Maka di dalam sikap ihsan sudah terkumpul di dalamnya iman dan islam. Sehingga orang yang bersikap ihsan itu lebih istimewa dibandingkan orang-orang mu’min yang lain, dan orang yang mu’min itu juga lebih istimewa dibandingkan orang-orang muslim yang lain… (At Tauhid li shoffil awwal al ‘aali, Syaikh Sholih Fauzan, hlm. 63)

C.      Pengertian Ihsan
Hasana yuhsinu, yang artinya adalah berbuat baik, sedangkan bentuk masdarnya adalah ihsanan, yang artinya kebaikan. Allah swt. berfirman dalam Al-Q ur`an mengenai halni.“Jika kamu berbuat baik, (berarti kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri”(Al-Isra: 7)
“Dan berbuat baiklah (kepada orang lain) seperti halnya Allah berbuat baik terhadap mu(QS. Al-Qashash:7 7 )
Ibnu Katsir mengomentari ayat di atas dengan mengatakan bahwa kebaikan yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah kebaikan kepada seluruh makhluk Allah swt.



D.     Masalah Ihsan
Pada dasarnya, ajaran Islam itu terbagi menjadi tiga ajaran pokok, yaitu: akidah, syariah, dan akhlak-tasawwuf. Akidah adalah ajaran Islam mengenai keimanan (kepercayaan/keyakinan). Syariah adalah ajaran Islam mengenai hukum-hukum praktis.Biasa juga disebut fiqh. Yaitu menyangkut masalah-masalah ibadah (salat, zakat, puasa, haji), muamalah (transaksi jual beli, perdagangan, hutang-piutang, usaha bersama), munakahat (hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah keluarga/akhwalul syaksiyah, seperti pernikahan, perceraian, rujuk, waris),jinayah (masalah-masalah pidana, hukuman bagi orang-orang yang melakukan kejahatan yang melanggar hukum-hukum Allah)
Akhlak-tasawwuf, yaitu lebih menekankan kepada kebersihan hati. Seseorang yang sudah yakin adanya Allah, kemudian dia beribadah, maka ibadah itu harus ikhlas. Ikhlas inilah salah satunya yang dibahas pada ilmu tasawwuf. Dalam menghadapi realitas kehidupan dunia, kita senantiasa tergiur oleh materi. Agar kita tidak terlena dari kehidupan akhirat, maka pada akhlak-tasawwuf juga diajarkan mengenai zuhud (asketis), kita juga diajarkan sikap qanaah (menerima anugerah Allah dengan senang hati).

E.     Analisa Penulis
          Berdasarkan uraian di atas maka penulis dapat mengemukakan bahwa : Ihsan adalah Beribadah kpd Allah dalam keadaan seakan-akan kamu melihat-Nya. Jika kamu tidak melihat-Nya, maka sesungguh Dia melihatmu”. [Pengertian Ihsan tersebut ialah penggalan dari hadits Jibril, yg dituturkan oleh Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘Anhu,
            Jadi Ihsan adalah ikhlas beramal karena Allah semata. Orang yang riya’ dalam beramal, berarti ia menganiaya dirinya sendiri karena amalnya itu bukan mendapatkan pahala malah akan mendapatkan dosa. Seseorang harus berkeyakinan bahwa Allah selalu melihat dan mengawasinya, sehingga hal itu akan mempengaruhi peribadatannya kepada Allah swt.
Dalam hal ini penulis mencoba memberikan contoh tentang berbuat ihsan:
Allah SWT berfirman: wa bi al-wâlidayni ihsân[an] (dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya). Jika terhadap Allah SWT diperintahkan beribadah, maka terhadap sesama makhluk-Nya diperintahkan berbuat ihsan dan belas kasihan. Dan orang yang paling berhak mendapatkannya adalah orang tua. Sebab, merekalah yang paling banyak berjasa. Sementara bersyukur kepada pemberi nikmat adalah wajib. Allah SWT berfirman: Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu (TQS Luqman [31]: 14). Rasulullah SAW juga bersabda: Man lam yasykur al-nâs lam yasykuril-Lâh (barangsiapa yang tidak bersyukur kepada manusia, maka dia tidak bersyukur kepada Allah, HR al-Tirmidzi dan Ahmad dari Abu Sai’d al-Khudri).
Didahulukannya kata al-wâlidayn menunjukkan syiddah al-ihtimâm (kuatnya perhatian). Sedangkan digunakan ihsân[an] dalam bentuk nakirah, menunjukkan al-ta’zhîm. Artinya, Tuhanmu memerintahkan agar kalian berbuat baik kepada kedua orang tuamu dengan kebaikan yang agung lagi sempurna.
Kemudian Allah SWT berfirman: Immâ yablughanna ‘indaka al-kibara ahaduhumâ aw kilâhumâ (jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu). Dijelaskan Abdurrahman al-Sa’di, frasa ini bermakna, “Jika keduanya telah sampai pada usia yang telah lemah kekuatannya dan membutuhkan kasih sayang dan ihsân.” Menurut al-Syaukani, disebutkannya secara khusus ketika al-kibar (usia lanjut) karena pada saat itu perbuatan baik dari anak lebih dibutuhkan daripada yang lain.
Tatkala dalam keadaan demikian, seorang anak diserukan: falâ taqul lahumâ uff (maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "uffin). Menurut Abu Hayyan al-Andalusi, kata al-uff merupakan ism fi’l yang bermakna atadhajjaru (saya bosan, saya jemu). Tidak jauh berbeda, al-Zuhaili juga menyatakan bahwa kata tersebut menunjukkan keengganan dan keberatan. Dengan demikian –sebagaimana diterangkan al-Syaukani--, seorang anak tidak boleh menampakkan keengganan atau keberatannya terhadap orang tua. Kendati yang disebutkan dalam ayat ini larangan berkata uff[in], namun mafhûm al-muwâfaqah (makna tersirat yang sejalan) dengannya mencakup semua perkataan dan tindakan yang dapat menyakiti hati orang tua.
Kesimpulan ini kian dikukuh dalam frasa selanjutnya: walâ tanhar humâ (dan janganlah kamu membentak mereka). Kata tanhar berasal dari kata al-nahr yang berarti al-zajr bi al-ghilthah (membentak dengan marah). Demikian penjelasan al-Zuhaili dalam al-Tafsîr al-Munîr. Tidak jauh berbeda, Ibnu ‘Athiyah juga menuturkan bahwa al-intihâr berarti menampakkan kemarahan dalam suara dan ucapan. Seorang anak dilarang untuk berlaku demikian terhadap orang tuanya.
Sebaliknya, manusia diperintahkan: waqul lahumâ qawl[an] karîm[an] (dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia). Menurut al-Qurthubi, qawl[an] karîm[an] berarti qawl[an] lathîfa (perkataan yang lembut). Fakhruddin menafsirkannya sebagai perkataan yang disertai dengan al-ta’zhîm wa al-ihtirâm (memulyakan dan penghormatan).
Tidak hanya dalam ucapan, namun bersikap baik itu juga mewujud dalam perbuatan. Dalam ayat berikutnya ditegaskan: wahfidh lahumâ janâh al-dzull min al-rahmah (dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan, TQS al-Isra’ [17]: 24).
Menurut al-Razi, ungkapan dalam ayat ini bermakna melebihkan tawadhu’. Kata min al-rahmah menunjukkan bahwa sikap tawadlu’ itu disebabkan oleh besarnya kasih sayang dan belas kasihan kepada keduanya karena telah tua dan lemahnya mereka.
Diperintahkan pula untuk mendoakan mereka. Allah SWT berfirman: Dan ucapkanlah, "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil" (TQS al-Isra’ [17]: 24). Perintah untuk mendoakan mereka agar diberikan rahmat dari-Nya itu berlaku baik keduanya masih hidup maupun sudah meninggal. Khusus bagi orang tua musyrik yang sudah meninggal, dilarang untuk mendoakannya, sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah SWT: Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu, adalah penghuni neraka Jahanam (TQS al-Taubah [9]: 113).
Itulah akhlak yang diajarkan oleh Islam kepada manusia dalam bersikap dengan orang tua mereka. Sebagamana layaknya kewajiban, siapa pun yang melakukannya akan mendapatkan pahala dan ridha-Nya. Sebaliknya, siapa pun yang melanggarnya, bahkan berlaku durhaka kepada orang tuanya akan diganjar dengan siksa yang pedih. Rasulullah SAW pernah ditanya mengenai al-kabâir (dosa besar). Beliau menjawab “Menyekutukan Allah.” “Lalu apa lagi?” Beliau bersabda, “‘uqûq al-wâlidayn (durhaka kepada orang tua). Semoga kita tidak termasuk di dalamnya. Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb











BAB IV
PENUTUP
1. Kesimpulan
Dari penjelasan di atas maka teranglah bagi kita bahwasanya pembagian agama ini menjadi tingkatan Syari’at, Ma’rifat dan Hakikat tidaklah dikenal oleh para ulama baik di kalangan sahabat, tabi’in maupun tabi’ut tabi’in; generasi terbaik ummat ini. Pembagian yang syar’i adalah sebagaimana disampaikan oleh Nabi yaitu islam, iman dan ihsan dengan penjelasan sebagaimana di atas. Maka ini menunjukkan pula kepada kita alangkah berbahayanya pemahaman sufi semacam itu. Lalu bagaimana mungkin mereka bisa mencapai keridhoan Alloh Ta’ala kalau cara beribadah yang mereka tempuh justeru menyimpang dari petunjuk Rosululloh ? Alangkah benar Nabi yang telah bersabda, “Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada dasarnya dari kami maka amalan itu tertolak.” (HR. Muslim). Barangsiapa yang ingin mencapai derajat muhsin maka dia pun harus muslim dan mu’min. Tidak sebagaimana anggapan tarekat sufiyah yang membolehkan orang yang telah mencapai Ma’rifat untuk meninggalkan syari’at. Wallohu a’lam.
2. Saran
  1. Wajib bagi kita berbuat baik kepada orang tua kita, terlebih ketika usia mereka sudah lanjut
  2. Sikap anak terhadap orang tuanya: (1) tidak berkata yang menyakitkan hati mereka; (2) tidak membentak mereka; (3) harus berkata dengan perkataan yang mulia; (4) bersikap tawadlu; (5) mendoakan mereka




DAFTAR PUSTAKA
Imarah, Musthafa Muhammad, Terjemah Jawahirul Bukhari, Rajamurah Alqonaah, Semarang, 1979.
Baqi, Muhammad Fuad ‘Abdul, Al-lu’lu’ wal marjan, terjemahan H.Salim Bahreisy, pt.bina ilmu, Surabaya, 1996.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar